ClickBlog.org SITUS BERITA BLOGER CEWEK RAMADITYA/TUNA NETRA CANGGIH epaper TUTORIAL BLOGER NEWS Buku Sekolah Elektronik CCTV JAKARTA JURAGAN PULSA BURSA KERJA PEMKOT SEMARANG Martin Dougiamas Moodle E-Learning Download music Tabloid keluarga BISNIS ONLINE TERMURAH Make Money With PerformancingAds

Saturday 15 March 2008

IS BOROBUDUR NOT BEAUTIFULIEST TEMPLE ANY MORE?





























HATTA, di tengah-tengah tanah Jawa pada Abad ke-8 Masehi, bertahtalah Raja Smaratungga dari Dinasti Syailendra. Buddha Mahayana menjadi aras kepercayaan yang dipeluk masyarakat ketika itu. Seorang arsitek bernama Gunadharma muncul dan melesatkan gagasan spektakuler: membangun kuil untuk bersamadi dalam rupa candi yang besar di tempat yang tinggi. Gagasan yang lalu berwujud kerja keras dan lama dan menghasilkan sebuah candi bernama Borobudur itu lalu diteguhkan sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia.Ya! Memang tak ada catatan atau inskripsi yang secara pasti mengguratkan informasi mengenai candi itu. Cerita tentang Borobudur lebih banyak dilihat oleh kalangan ahli, terutama arkeolog, dari penafsiran atas inskripsi yang terdapat pada relief-relief candi.Begitu juga dalam soal penamaannya, ada beberapa versi yang mencoba menerjemahkan sebutan Borobudur. Ada yang menyebutnya sebagai akromnim dari Bumi Sambara Budhara. Ada pula yang menafsirnya dari kata ''boro'' yang katanya berasal dari bahasa Sanskerta byara yang bermakna candi atau kuil, dan kata ''budur'' dari bahasa Bali beduhur yang bermakna ''di atas bukit''.Tapi, dari semua ragam tafsir itu, Borobudur sebagai cerita juga peninggalan sejarah spektakuler, telah banyak dikenal orang. Borobudur telah menjadi ''objek'' beragam kepentingan: keilmuan, kreasi seni, serta objek wisata yang tak tersangkalkan lagi begitu menakjubkan.Ya! Borobudur berada di ketinggian 295 meter di atas permukaan laut yang yang secara administratif berada di Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang, Jateng. Sebagai peninggalan sejarah, Borobudur telah dipugar dua kali. Kali pertama tahun 1907-1911 dalam komando van Erp. Kali kedua tahun 1973 hingga diresmikan 23 Februari 1983 oleh Presiden Soeharto. Dan dua tahun berikutnya, 1985, terjadi pengeboman dan telah dilakukan renovasi atasnya.
***
KALAU demikian, apa yang harus saya ceritakan lagi usai untuk kali kesekian saya mengunjunginya Rabu (4/6/2003), tepat satu minggu sebelum event besar Borobudur International Festival (BIF) akan dilangsungkan di kaki candi?Festival yang akan berlangsung 11-17 Juni mendatang itu memang mungkin sangat menarik. Apalagi, pada tanggal 14 Juni, Presiden Megawati akan menghadirinya. Berbagai sajian pun telah dicanangkan. Belum lagi soal persiapannya yang menurut informasi beberapa orang yang terlibat di acara itu telah bisa disebut ''siap''.Tak cuma sajian formal BIF di areal taman yang telah siap. Event itu mendorong banyak kreator di Magelang untuk ikut ''menjadi pelengkap'' dengan menggelar event ''hampir'' serupa di luar candi. Sebastian Oentoeng, perupa Magelang yang menemani saya berkeliling Borobudur menginformasikan setidaknya ada delapan titik pergelaran di luar areal pada saat BIF berlangsung. Dia menyontohkan dua sajian, yaitu ''Borobudur Agitatif'' di Galeri Langgeng Magelang dan ''Borobudur Internasional Open Air Gallery'' yang akan memamerkan lukisan 100 pelukis di tengah-tengah sawah pada beberapa ratus meter dari areal candi.Di luar segala persiapan festival itu, Borobudur sekarang ini tetap bisa diceritakan kembali. Ya, tetap ada banyak hal yang menarik diketahui.Mari kita mulai dari pintu masuk! Belilah tiket seharga Rp 6.500 untuk bisa menikmati semua yang tersaji pada areal candi. Sungguh Anda hanya membayar kurang dari 10 persen dari yang dibayarkan turis asing. Mereka membayar tiket sebesar Rp 68.000.Begitu masuk, sebelum sampai di trap bawah candi, Anda harus menyusuri bulevar-bulevar pada taman seluas 85 hektar yang dirindangi beraneka jenis pohon: palem, kelapa, duwet putih, nam-naman, kenari, dan kawista. Rindang dan nyaman untuk berjalan-jalan, meskipun pada saat tak ada kabut, matahari begitu menyengat.Rabu siang itu, Borobudur dipenuhi dua rombongan besar. Seratus meter dari pintu masuk areal candi, batu-batu candi yang kelabu seperti kontras oleh rombongan berjaket kuning dan rombongan berseragam dalam corak bebungaan warna biru dengan bawahan biru. Ketika saya berbaur dengan mereka, saya tahu mereka mahasiswa Fisip Universitas Indonesia dari Jakarta dan satu rombongan lainnya anak-anak SLTP 4 Cimahi, Bandung. Ah ya, Borobudur memang selalu menarik sebagai paket wisata rombongan, juga untuk mereka yang masih sekolah.Turis asing hanya beberapa saja saya jumpai. Pemandu tak henti-hentinya menerangkan pada mereka dengan bahasa asing si turis. Saya tak menjumpai pemandu freelance yang berjumlah puluhan di areal candi yang siang itu kebagian rezeki memandu turis. Tapi, tentu saja mereka sudah terbiasa begitu, bukan? Apalagi, selama beberapa waktu belakangan, pengelola tempat wisata di mana pun sebagian besar selalu mengeluhkan terus merosotnya jumlah turis asing yang datang.Tak banyaknya rombongan turis asing, juga rombongan keluarga juga ikut dikeluhkan para ''fotografer'' yang menjual jasa pemotretan sesaat di situ. Padahal jumlah mereka ada lebih dari 70 orang yang tergabung dalam Kopari Foto.''Anak-anak sekolah biasanya bawa kamera sendiri. Ah, sudah biasa, Mas. Tiga hari tak satu jepretan pun itu hal biasa,'' keluh seorang juru potret.Saya dan Oentoeng segera berbaur dengan mereka. Aktivitas yang tergelar seolah-olah tak ada lagi yang baru buat saya. Beberapa kali ke Borobudur hampir selalu saya menjumpai para pewisata yang asyik saling memotret, merogoh-rogoh Buddha dari lubang-lubang stupa, dan mencermati relief-relief di dinding candi yang terbungkus.Merogoh Sang Buddha pada relung stupa sekian lama dipercaya sebagai hal yang menarik. Kalau Anda mampu mengambil bunga mawar yang berada di lekukan simpuhan kaki arca itu, apapun keinginan Anda bakal terkabul. Benar-tidaknya wallauhu a'lam bissawab.Michel, seorang turis dari Perancis juga tertarik melakukan itu. Temannya memotret dari satu sisi stupa. ''Voilà Michel, une photographe (Hai Michel, satu jepretan!),'' kata dia. ''Pourquoi faites-vous comme ça, Monsieur? C'est intéressant, n'est-ce pas, ou vous voulez quelque chose?'', tanya saya mencoba mencari tahu mengapa dia melakukan itu sembari menegaskan apakah itu menarik baginya. Sebelum ngeloyor bersama teman dan pemandunya, si Prancis itu hanya menjawab sembari tersenyum, ''Rien. Mais, c'est exotique!''Ya, dia tak meminta apa pun, tapi itu eksotik buatnya.Saya iseng-iseng ikut ritus itu. Geregetan saya tak sampai-sampai menjangkau bunga. Teman saya Oentoeng mencoba pula. Juga tak kesampaian.Dengan tertawa, kami membaur lagi bersama anak-anak SLTP yang dengan santai memanjati dinding candi dan dan duduk pada bibir stupa. Ah ya, keceriaan mereka sepertinya tak memedulikan larangan untuk tidak memanjat dinding candi dan stupa. Apakah keceriaan itu serupa bayaran yang setimpal untuk biaya dan tenaga mereka yang telah jauh-jauh datang demi ''membaca'' Borobudur?Saya juga tak memedulikan apakah mereka peduli pada arca Buddha, stupa dan relief-relief beserta cerita yang termaknakan. Toh kalau mereka membutuhkan data serupa itu, mereka bisa mendapatkan brosur dari Pusat informasi.Dari brosur tercatat, seluruh arca Buddha berjumlah 504 buah. Itu terbagi dari dua bagian. Bagian pertama sejumlah 72 arca yang disebut Vajra Satwa, berada di tiga teras di bawah stupa induk. Pada level kedua yang disebut Rupadhatu, pada relung-relungnya pada dinding tingkat I hingga IV terdapat 432 buah arca yang lazim disebut Dyani Buddha.Yang menarik adalah mencermati sikap tangan (mudra) Sang Buddha dalam posisi duduk bersamadi itu. Ada enam mudra. Yakni, arca warocana dalam sikap tangan witarka mudra yang bermakna pemberian pelajaran, arca ratna sambawa dalam wara mudra yang berarti cinta kasih, arca aksobya dalam bumisparsa mudra yang berarti kekuatan iman, arca amogasidha dalam abhaya mudra yang bermakna tak takut bahaya, arca amitaba dalam dyana mudra yang berarti bersamadi, arca vajra satwa dalam dharma cakra mudra yang berarti daya memutar roda kehidupan.
***
YA, mengunjungi Borobodur buat saya adalah kunjungan belajar tak henti-henti mengenai ''pelajaran alam'' yang kebetulan disuguhkan oleh Sang Buddha. Arca, stupa, reliefnya menjadi buku yang tebal dan tak selalu mudah dipelajari.Tiga level candi tersebut juga menarik diketahui. Ketiganya menjadi simbol perjalanan seseorang menuju kasunyatan, menuju nirwana. Ya, Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu pun sebuah buku pelajaran moralitas yang tak selesai dipahami dalam sekali pengungkapan. Di level pertama, Kamadhatu bermakna sebagai gambaran alam di mana napsu harus dikendalikan. Level berikutnya, Rupadhatu mengambarkan alam yang telah terkendali napsunya tetapi masih terikat oleh bentuk-bentuk, rupa-rupa. Level terakhir, Arupadhatu, adalah gambaran alam nirwana. Sebuah perjalanan asketis menuju hakikat hidup.Dan, berusaha mempelajarinya tentulah sebuah petualangan yang mengasyikkan. Maka, tak mungkin sekali datang, pelajaran itu bisa terengkuh sempurna. Ya, ada keinginan besar untuk berkali-kali datang dan mempelajarinya secara serius.Karena itu, saya begitu terpesona oleh penjelasan Sumardi Juru Penerang Museum Karmawibangga, sebelum saya benar-benar memasuki areal candi. Tampaknya dia sangat menguasai betul pekerjaannya. Museum yang berada di areal candi itu pun menyimpan berbagai bongkahan batu candi. Kata dia, benda-benda itu ditemukan suatu hari berserakan di sekitar penemuan candi.''Anda harus tahu, batu-batu disusun tanpa perekat. Kalau ada yang bilang batu yang satu dengan lainnya direkat dengan putih telur, itu mitos. Mari saya tunjukkan bagaimana Borobudur dibangun dengan pola susun dan teknik kunci dari batu-batu,'' ujar dia.Dia memperlihatkan dua batu bersandingan yang di tengah-tengah pada salah satu sisinya terdapat cerukan berbentuk bujur sangkar. ''Dari cerukan itu batu diletakkan sebagai kunci. Banyak sekali jenis kunci batunya. Ada yang letter T, ada pula yang berupa pola ekor burung.''''Ini yang lebih spektakuler!'' kata dia lagi sembari menujuk batu relung yang bagian atasnya berupa batu kunci letter T. ''Kalau kuncinya di ambil, batu-batu yang di bawahnya ambruk. Menakjubkan bukan?''Saya mengamati yang ditunjukkannya. ''Gila benar si Gunadharma dulu memikirkan itu!'' komentar saya.''Ya! Ini museum Karmawibangga. Anda akan lebih takjub lagi kalau saya katakan, cerita Karmawibangga berasal dari relief di bagian dasar candi yang tak terlihat.''Saya menyimaknya. Katanya, tahun 1891, seorang ahli bangunan Belanda Eizermen menemukan kaki tambahan atau supplement stone pada level Kamadhatu. Ketika itu dibongkar dan dipotret semua reliefnya. ''Sebenarnya ada 160 buah panel relief. Tapi yang orang tahu atau yang terbuka hanya empat. Itu relief nomor 19, 20, 21, dan 22. Itu ada di sebelah tenggara.''Ah, penjelasannya hanya membuat saya semakin tertarik. Maka, begitu usai menemui dia, saya buru-buru ke candi dan langsung ke empat relief yang ditunjuk dia. Memang hanya empat panel relief.Relief Borobudur memang menjadi sesuatu yang begitu istimewa. Cerita yang ada pada total 1460 panel relief yang ada adalah gugusan cerita yang (mungkin) tak bisa diterima dalam sekali simak.Karmawibangga yang sebagian besar tersembunyi itu bercerita mengenai tak terhindarkannya hukum karma bagi manusia. Kisah hidup Buddha Gautama yang tak selesai dijumpai pada 120 panel relief dan ditajuki Lalitavistara. Ada juga Jataka dan Avadana yang bercerita mengenai Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Sidharta hingga kisah pohon Boddhisatwa. Cerita terakhir yang lebih berupa teks ajaran Mahayana dijumpai pada panel-panel relief yang disebut sebagai Gandavyuha.Begitu banyak kisah. Begitu banyak buku dalam bentuk batu. Maka, Borobudur, setidaknya buat saya, adalah bacaan yang tersaji lewat susunan, pertautan dan guratan relief di batu-batu.(*)
Berpesiar Sekitar CandiKALAU lelah mengagumi batu-batu candi Borobudur, Anda tak akan kekurangan cara bersenang-senang di tempat wisata itu. Kalau bersama anak-anak, naiklah kereta berkeliling areal candi. Hanya Rp 3000. Loketnya di dekat pintu masuk persis di depan Pusat Informasi. Kalau hanya ingin berkeliling menyusuri bulevar taman yang dirindangi aneka pohonan, cobalah sekali-sekali mencermati salah satu pohonnnya. Ada banyak pohon yang (mungkin) tak dijumpai pada daerah Anda seperti kawista, nam-naman atau duwet putih.Ingin berbelanja? Di sebagian kecil bagian dalam areal taman candi, banyak kios cenderamata. Di luar pagar, lebih banyak lagi. Itu belum termasuk yang freelance mengasong berbagai cenderamata seperti miniatur stupa, patung Buddha kecil, atau kaos bergambar Borobudur. Mereka selalu punya cara menawari dengan khas, ''Mari beli mumpung murah.''Kalau ingin lebih terharu-biru, cobalah naik gajah. Anda lima gajah yang dikelola pihak candi bekerja sama dengan Aman Jiwa. Ya! Naikilah Shella misalnya, nama salah seekor gajah itu berkeliling taman candi. Bukan cuma itu. Kalau Anda pesan satu paket, selain menunggang Sang Ganesya itu, Anda disuguhi demonstrasi gajah melukis. Dia dipandu pawang gajah dan dua kakak-beradik pelukis pemandunya: Agustinus Adiwinarto dan Sutopo.''Sejak lima bulan lalu, kami melatih gajah untuk melukis. Itu bagian dari proyek Elephant Art di New York. Selama lima bulan, lebih dari seratus karya lukisan gajah-gajah kami. Kalau sudah diseleksi, lukisan itu akan dikirim ke sana untuk dilelang,'' cerita Sutopo.Sutopo bilang, itu wujud pelestarian dan pemberdayaan gajah. ''Gajah pun perlu diberdayakan secara ekonomis. Dia melukis. Lukisannya terbeli.''Kalau lihat lukisannya, sebagian besar bergaya abstrak. ''Eit! Tunggu dulu! Bukan hasilnya yang terpenting. Tapi lihat goresannya. Lihat pula cara gajah melukis dengan belalainya!'' buru-buru Sutopo menegaskan.Ya! menunggang dan menyaksikan sang gajah melukis, bolehlah sebagai penyelaras kaki yang telah kelelahan naik-turun trap Candi Borobudur.Belum cukup lelah dan beristirahat hotel-hotel sekitar candi? Datang saja ke desa wisata Wanurejo atau Candirejo! Yang terdekat ke Wanurejo. Tak sampai lima menit bersepeda motor dari pintu candi atau kalau berjalan kaki, tak sampai 10 menit. Andong dan becak pun siap sedia membawa Anda ke sana. Tanah datar di situ tak merepotkan para pengusaha jasa transportasi itu.Ini bukan iklan! Tapi, memang di dalam desa itu, banyak hal yang bisa diperoleh wisatawan. Setelah proses yang panjang sejak tahun 1997, tiga orang dari desa itu sekuat mungkin berupaya menjadikan desa di pintu gerbang timur Candi Borobudur itu menjadi desa wisata mulai tahun 2000. Mereka adalah Agustinus Adiwinarto, Sukiyadi, dan Zumrodin.Ya! Apa yang ditawarkan desa itu sebagai tempat kunjungan wisata? Mari saya ceritakan tentang desa itu seperti yang dituturkan Adiwinarto ketika saya mengunjunginya di rumah dia yang rindang di tengah-tengah Wanurejo.Wanurejo desa yang molek. Desa yang terapit dua sungai (Progo dan Sileng) itu memiliki sembilan dusun yang masing-masing memiliki karakteristik menarik. Ya! Brojonalan, Tingal Kulon, Tingal wetan, Bejen, Ngentak, Soropadan, Gedongan, Jowahan, dan Barepan merupakan dusun-dusun khas pedesaan di sekitar candi agung Borobudur.Menyusuri Dewa Wanurejo, Anda akan mengagumi hamparan sawah hijau di lembah Bukit Menoreh, sebuah bukit yang kalau dilihat dari puncak Borobudur memiliki kontur serupa orang yang tengah leyeh-leyeh. Tak heran, ada yang menyebutnya itu Buddha yang tengah rehat memandangi Borobudur. Cerita lainnya, itu Gunadharma yang lagi asyik mengamati karyanya.Sawah-sawah, ladang jeruk, pepaya, dan rambutan menjadi panorama yang mengasyikkan pada wisata desa itu.Bukan itu saja! Di Tingal Wetan, Anda akan menjumpai peninggalan Perang Diponegoro berupa genderang perang yang disimpan di Masjid Tiban. Candi Pawon yang menjadi trilogi Mendut-Pawon-Borobudur, ada di Dusun Brojonalan.Kalau ingin dihibur pertunjukan kesenian, Wanurejo memiliki beragam bentuk seni tradisional yang bisa setiap kali dipesan untuk tampil. Ada gejok lesung, jathilan, kobra siswa, cokekan, tutur, dan sebagainya.Yang ingin bertualang, Sungai Progo menjadi tempat yang mengasyikkan untuk rafting atau mengarungi arus air sungai. Tapi di situ bukan rafting biasa. Anda ber-rafting dengan bambu. Dan sepanjang Progo otu, Anda akan menikmati tebing-tebing yang penuh hutan bambu. Kalau ingin pulang dan berkehendak cari oleh-oleh, beli saja makanan khas desa itu. Beberapa contohnya, clorot (makanan sejenis ketan terbungkus janur lancip), bajingan (ubi kayu bernira), atau semelak (campuran rempah-rempah dengan pace yang berfungsi sebagai obat).Jadi, tak lengkap ke Borobudur tapi tak menyusuri pesiaran sekitarnya.(*)
Suara Merdeka, 8 Juni 2003








Read More..

Free chat widget @ ShoutMix
visitor stats

blogger tracker
Click Here