ClickBlog.org SITUS BERITA BLOGER CEWEK RAMADITYA/TUNA NETRA CANGGIH epaper TUTORIAL BLOGER NEWS Buku Sekolah Elektronik CCTV JAKARTA JURAGAN PULSA BURSA KERJA PEMKOT SEMARANG Martin Dougiamas Moodle E-Learning Download music Tabloid keluarga BISNIS ONLINE TERMURAH Make Money With PerformancingAds

Thursday 13 December 2007

AFASIA BROCA

AFASIA BROCA

Seorang pengemis, kakinya buntung, menengadahkan tangan di pinggir jalan, menatapku tajam dan menggumamkan kata-kata yang tak jelas di telingaku. Tanganku mengais-ngais recehan di saku tas. Belum sempat tanganku mengulurkan recehan yang kutemukan di sudut saku tas pada pengemis itu, sebuah benda berat menghantam kepalaku.
Ciuuuuuttt....dear...bummm...klek.....prakkkk!!!
Gelap... Samar-samar kulihat pengemis buntung yang kulihat tadi melambaikan-lambaikan tangan ke arahku.
Satu...Dua...Tiga...Lima....Sepuluh...Duapuluh....Seratus...!!!
Aaakh...Mengapa tiba-tiba ada banyak pengemis? Dan pengemis buntung itu tiba-tiba bisa berdiri. Tangannya menuding-nuding ke arahku, diikuti pengemis-pengemis lainnya. Mereka menghakimiku.
"Dasar pelit !!?"
"Rakus !?" kata yang lainnya.
"Apa kau tidak ingat, dalam hartamu ada hak-hak kami, kaum fakir miskin?"
"Pelit...Rakus....Pelit...Rakus!?" teriak mereka bersama-sama.
Aku juga ingin berteriak kepada mereka:
"Uang itu kuperoleh dari hasil jerih payahku sendiri, jadi jangan merasa punya hak atas hartaku".
Tapi tak satupun kata yang dapat kurangkaikan menjadi kalimat itu. ♫
Suara letupan ban bekas dibakar bergemletuk.
Kretek....Kretek...Pletak....Pletuk!!
Gegap gempita lagu jalanan menggema. Sorak sorai umpatan keluar dari mulut-mulut mahasiswa untuk para pejabat yang mereka anggap bersalah, koruptor, tak memihak rakyat dan masih banyak ungkapan lain. Gerai yel-yel sambung menyambung mengalir dari mulut-mulut mungil mereka. Kiloan meter spanduk berisi slogan-slogan yang lahirdari idealisme orang-orang yang pernah menjadi kelompok tersuci di negeri ini, katanya.
Aku larut dalam semarak arus demonstrasi yang mengingatkanku pada kejadian di tahun awal perkuliahanku, tahun 1998, tumbangnya orde baru. Aku masih ikut dalam kelompok demonstran. Seutas tali melingkupi kami, sebagai pembatas antara demonstran dan orang-orang di luar kami. Aku berjalan tegap sambil terus mengepalkan tangan dan menyanyikan lagu-lagu jalanan di sepanjang jalan yang kulewati.
Sampai di penghujung jalan, sepi hanya ada aku dan....mataku terbelalak...hah!?
Kalian, kawan-kawanku aktifis reformasi yang telah menanamkan idealisme, menghujamkan rasa nasionalisme, membenamkan semangat patriotisme, dan menjejalkan isme-isme lain dalam jiwaku. Kalian berkata dan bertindak dengan mengatasnamakan perjuangan, dan perjuangan ini belum mencapai titik kulminasi. Mengapa kalian sudah letih dan kelelahan? Menjual idealisme, nasionalisme, patriotisme demi menghilangkan haus dan lapar.
Deal-deal politik, pembagian jatah kekuasaan dan kedudukan yang kalian lakukan membuatku muak. Aku ingin mengumpat, namun tak satupun kata dapat kurangkai. ♫
Trang...Trang...Ting...Ting...Prakkk!!! Desss...Dess....Bumm!!?
Trang...Ting...Prakkk!!! Desss... Bumm!!?
Mereka, orang-orang suci saling menginjak, mengangkat senjata, adu parang, adu jotos, dan...MATI atas nama agama. Agama yang mana? Agamanya siapa? Agamanya Tuhan? Tuhan yang mana? Tuhan siapa? Tuhan selalu menjadi legitimasi pembenar. Padahal Tuhan, milik siapapun, selalu mengajarkan Cinta, Kasih sayang, Perdamaian, dan Keadilan. Ratusan bahkan ribuan nyawa menjadi tumbal arogansi dan ketakaburan kalian. Aku ingin tertawa dan mengejek, namun tak satu kata pun dapat kurangkai. ♫
Aku masih berdiri di tempatku semula, banyak orang berjalan di depanku, disampingku, dan di sekelilingku, Telanjang!!? Tak sehelai pun benang menutup tubuh kalian.
Kalian tetap berjalan tenang, berlagak tak terjadi apa-apa, biasa. Tanpa malu melenggang, melompat, berlari, tersenyum, bahkan tertawa. Uuughh....aku bingung??!
Wajah-wajah kalian sangat kukenal. Entah di mana aku mengenalnya, tapi wajah-wajah itu tak asing di memori otakku.
"Wajah-wajah itu....wajah-wajah itu...." seruku sambil menuding-nudingkan jari telunjukku ke arah wajah-wajah kalian yang berubah-ubah manusia... binatang... manusia.... binatang!?
Uuugh...aku bingung??!
Apakah ada pesta tahun baru? Atau zaman sudah tak kukenali?! ♫
Kakiku terus melangkah, berjalan menyusuri jalan setapak.
Cit..Cit..Cuit..Cuit..Cuit, Tek..Tek...Tek...Tekek, Kok..Kok..Kok, Cit..Cit..Cricit...Cricit...
Suara nyanyian alam, senandung makhluk ciptaan Tuhan, dan senyum ramah wajah-wajah syahdu nan lembut menyambutku.
Waaoouuu....Taman Firdaus mana yang kuinjak ini, pikirku. Apakah masih ada sudut negeriku yang menyisakan keindahan, kesejukan, dan kenyamanan seperti ini? Layaknya keindahan yang dipersembahkan Sulaiman dalam bangunan istana untuk Bulqis.
Hemmm...Aku mengerutkan dahi.
"Barisan angka??!!" Seruku
Angka-angka iru bermain-main, menari-nari di depan mataku, sangat dekat, seolah-olah ingin merobek kornea dan menyentuh retinanya.
Cahaya putih berinterferensi, saling berebut satu bintik kuning mata. Serombongan cahaya lain menggulung, semakin membelit, panjang tak terurai. Lorong panjang, gelap dan berkelok, menghentak-hentak kesadaranku. Dimensi waktu melemparku ke jurang terdalam, gelap dan pengap.
Aku ingin berteriak minta tolong, namun tak satupun kata dapat kurangkai. ♫
Setitik cahaya berpendar mulai mengembalikan kesadaranku.
Tut...Tut...Tut...Deg...Dug...Deg...Dug... Suara detektor jantung memekakkan rumah siput dalam gendang telingaku.
"Satu...Dua..." Ucapku.
Semua tersentak. Aku nyaris tak percaya. Ke mana kata-kata yang sudah kurangkai? Mengapa menjadi satu untuk ibu, dan dua untuk bapak?
Dengan susah payah kurangkai kembali kata dalam otakku dan kucoba mengucapkannya.
"iii....bb...., aaahhh"
"bbaa....p..., huuu....hhh!!!" Aku putus asa. Tak satupun kata dapat kurangkai.
Ibu menangis, mendekapku dan menciumi wajahku.
"Ibu dan bapak jangan terlalu panik." Kata laki-laki berjas putih, yang tak kukenali. Laki-laki itu mulai menenangkan ibu dan bapak yang terlihat sangat terpukul.
"Anak anda mengalami kerusakan otak kiri bagian depan akibat kecelakaan itu. Anak anda menderita afasia broca. Ia akan sedikit mengalami kesulitan pada bahasanya, mungkin sedikit gagu dan maaf...kelihatan agak idiot. Tetapi biasanya kemampuan matematisnya akan meledak." Lanjut laki-laki yang kuyakin seorang dokter.
"Apakah bisa disembuhkan, dokter?"
"Bisa...Anda cukup memberinya terapi dan kasih sayang."
Cahaya-cahaya berpendar, berinterferensi, saling membelit dan panjang kembali menyerangku. Struktur-struktur molekul, segitiga Phytagoras, konstanta Planck, susunan helix DNA bermain-main di depan lensa mataku.
Wusss....Wuuss...Sret...Sret...Aaaauuuu.....!!!!
Dimensi waktu dan lorong-lorong panjang kembali melemparku, entah di bumi mana?! ♫

Mita el-Rahma
Kamar Petak-Kudus, Ramadlan 1426 H Read More..

Free chat widget @ ShoutMix
visitor stats

blogger tracker
Click Here